Sebelum kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor nikel mentah diterapkan, nilai ekspor nikel Indonesia hanya mencapai angka US$ 2,1 miliar per tahun atau setara dengan Rp 30 triliun. Setelah hilirisasi dilakukan, nilai ekspor nikel Indonesia melesat berkali-kali lipat.
Sebagai gambaran, nilai bijih nikel meningkat 10 kali lipat ketika diolah menjadi feronikel. Apabila diolah lebih lanjut menjadi baja tahan karat, nilainya melonjak 19 kali lipat.
Hal ini dibuktikan melalui data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan sepanjang 2023, Indonesia mengekspor nikel sebanyak 1,26 juta. Secara kuantitas, jumlahnya meningkat 62,33% dibandingkan 2022 secara year on year/yoy. Nilainya ikut meningkat sebesar 14,75% (yoy) menjadi US$ 6,8 miliar atau setara dengan Rp 106,9 triliun.
Dari total volume ekspor tersebut, sekitar 1,12 juta ton atau 88,7% di antaranya dikirim ke Tiongkok. Jepang berada di peringkat kedua terbesar dengan porsi sebesar 7,4%, disusul Norwegia dengan porsi 2,5%, Belanda dengan porsi 1,1%, dan Korea Selatan di peringkat kelima dengan porsi 0,22%.
Peningkatan ini mengindikasikan kebijakan hilirisasi nikel berdampak besar bagi perekonomian Indonesia. Tidak hanya meningkatkan nilai tambah, tetapi juga membuka peluang untuk pengembangan industri dalam negeri yang terkait erat dengan industri pengolahan nikel dan menciptakan lapangan kerja.
Di sisi penerimaan negara, Indonesia mendapatkan pajak penghasilan, PPN, pajak karyawan, PNBP, dan bea ekspor untuk menambah pemasukan negara.
Polemik Kebijakan Larangan Ekspor Bijih Nikel RI
Pada November 2022 lalu, World Trade Organization (WTO) memenangkan gugatan yang diajukan oleh Uni Eropa di Dispute Settlement Body terkait larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan oleh Indonesia sejak awal tahun 2020.
Indonesia dianggap telah melanggar ketentuan WTO paska menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan, Posviral.com lain: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Sebagai respons terhadap hal ini, Pemerintah Indonesia telah mengajukan banding kepada WTO pada Desember 2022 lalu. Langkah ini menunjukkan upaya Pemerintah Indonesia untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional serta mempertahankan kebijakan dalam sektor pertambangan nikel.
Sejak saat itu, proses banding RI ini tak kunjung dilaksanakan dan Appellate Body masih belum terbentuk. Alasannya, Amerika Serikat (AS) masih belum menyetujui pembentukan panel banding WTO. Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional Bara Krishna Hasibuan menyebutkan, Appellate Body WTO ini diperkirakan paling cepat terbentuk pada pertengahan 2024 atau bahkan awal 2025, sehingga butuh waktu lama sampai proses banding Indonesia dilaksanakan.
Penyebab Indonesia Kalah di WTO
Terdapat sejumlah penyebab yang membuat Indonesia dinyatakan kalah di Dispute Settlement Body, Posviral.com lain: