“Kami punya kurang lebih 21 EWS. Ini kan dipasang berdasarkan kajian di titik-titik yang rawan dengan luapan air atau banjir,” kata Kepala BPBD Kota Semarang Endro P Martanto di Semarang, Selasa.
Ia mengatakan keberadaan EWS mencakup wilayah rawan banjir, baik di kawasan atas, seperti Rowosari dan Meteseh, maupun kawasan bawah di Tugu dan Mangkang.
Namun, kata dia, ada beberapa EWS yang baru saja dipasang satu tahun ternyata sudah rusak alarmnya dan ada juga alatnya yang hilang.
“Harapan kami agar masyarakat bersama menjaga. Karena baru satu tahun pasang ada beberapa yang alarmnya rusak dan hilang. Padahal, ini manfaatnya untuk masyarakat juga,” katanya.
Belajar dari pengalaman tersebut, pihaknya kemudian menempatkan EWS di titik-titik yang sekiranya dekat dengan permukiman demi menjaga keamanan peralatan tersebut.
“Kalau seperti ini kan lahan terbuka, tidak ada masyarakat. Karena alat ini (EWS, red.) juga tidak murah,” katanya.
Dari aspek kebencanaan, wilayah Semarang memiliki potensi risiko tidak hanya banjir, melainkan juga tanah longsor karena ada wilayah dengan kontur perbukitan.
Akan tetapi, diakuinya, sejauh ini Kota Semarang memang baru memiliki sistem peringatan dini untuk bencana banjir.
“Saat ini Semarang masih hanya masalah EWS air. Ke depan mudah-mudahan di tahun anggaran 2025 kami anggarkan EWS untuk tanah longsor,” katanya.
Endro mengatakan BPBD tengah belajar mengenai pengoperasian peralatan tersebut karena tanah longsor juga menjadi potensi bencana yang bisa terjadi di Kota Semarang.
“Kami lagi belajar ini. Karena Semarang berbicara bencana bukan hanya air, longsor juga. Ada di Ngaliyan, Jomblang, Tembalang juga. Nanti akan implementasikan di tahun anggaran yang akan datang,” katanya.