Indonesian Dance Festival (IDF) kembali digelar di Studio Banjarmili, Sabtu (20/1/2024). Gelaran ini merupakan ajang pentas seni tari kontemporer berskala internasional dan selalu konsisten dilaksanakan.
Kali ini, IDF mengusing tema Lawatari: Yogyakarta. Diambil dari kata Lawat yang berarti mengunjungi dan Tari yang berarti menari. Yogyakarta menjadi lokasi terakhir seusai IDF melawat ke Makassar pada September 2023 dan ke Padang Panjang November 2023. Tak hanya penampilan tari, ada juga berbagai rangkaian kegiatan lainnya. Seperti bincang karya, masterclass, hingga lokakarya.
Direktur IDF Ratri Anindyajati mengatakan Lawatari: Yogyakarta turut menggandeng dua komunitas tari. Di antaranya adalah Mila Art Dance (MAD) Lab dan Paradance Platfrom. Ada sebanyak empat koreografer muda yang turut menampilkan karyanya. Menurut Ratri, gelaran ini sekaligus menjadi kesempatan bagi IDF untuk melihat dan belajar dari dekat praktik-praktik inkubasi karya, tata kelola, dan pelatihan yang dijalankan oleh MAD Lab, Paradance Platform, dan Studio Banjarmili. Organisasi yang fokus pada proses pembuatan karya, transfer ilmu, dan pelatihan untuk pegiat tari muda sangat penting bagi pertumbuhan ekosistem tari di Indonesia.
“Semangat ini sejalan dengan salah satu misi IDF yang terwujud lewat program inkubasi Kampana. Di mana kami memfasilitasi koreografer muda untuk mengembangkan karya dengan bimbingan tim kurator festival,” ujarnya saat ditemui di JNM Bloc, Jumat malam (19/1/2024).
Salah satu koreografer muda yang turut akan menampilkan karyanya adalah Sri Cicik Handayani. Dia membawakan karya yang diberi judul Atandang yang berarti menari dalam Bahasa Madura. Ini menjadi karya terakhir dalam perjalanan tangga pertunjukan yang diciptakannya sejak 2021. Lewat karya ini, Cicik berupaya mengajak penikmat tari untuk menilik sudut pandang laki-laki penari kesenian tayub atau laki-laki penayub terhadap perempuan tanda. Ini sedikit berbeda dengan karya pertama dan kedua yang sempat dia luncurkan sebelumnya.
“Kalau karya pertama saya berbicara tentang konflik dari peristiwa sawer yang ada dari kesenian Tayub karena dasarnya seluruh karya saya berasal dari kesenian Tayub Madura. Dan karya kedua saya membahas tentang esensi perempuan tanda sebagai penari perempuan,” jelasnya.
Cicik mengaku melakukan analisa mendalam. Utamanya tentang bagaimana perempuan tanda memaknai laki-laki penayub dan bagaimana laki-laki penayub memaknai perempuan tanda dalam perisitiwa nandang atau menari.
“Kemudian proses koreografi saya yang lebih dalam adalah bagaimana membaca gestur laki-laki penayub karena fokusnya itu, juga gestur yang hadir pada peristiwa nandang dengan perempuan tadi,” ungkapnya.