Posviral.com, Yogyakarta – Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat maupun wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta mungkin sering melihat tumpukan sampah di pinggir-pinggir jalan yang cukup mengganggu mata. Tumpukan-tumpukan sampah itu seperti sudah lama tak terangkut dan menimbulkan bau tak sedap.
Situasi darurat sampah di Kota Yogyakarta dan juga di kabupaten sekitarnya seperti Sleman dan Bantul memang belum sepenuhnya berakhir. Pasca penutupan Tempat Pengolahan Akhir atau TPA Piyungan ditutup Mei 2024 lalu. Penutupan ini membuat sampah sampah banyak tak terangkut karena depo depo penuh sesak tak bisa menampung luapannya.
Tak hanya menggangu lingkungan dan juga citra sebagai Kota Wisata, penanganan sampah yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta pun telah menghabiskan anggaran hingga puluhan miliar rupiah pasca penanganan dilakukan secara terdesentralisasi.
“Sekarang untuk menangani sampah butuh anggaran lebih besar,” kata Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta, Aman Yuriadijaya, Kamis, 8 Agustus 2024.
Aman merinci, untuk pengelolaan 200 ton sampah kini biaya pengelolaan yang harus dikeluarkan sudah mencapai sekitar Rp 20 miliar dari sebelummya hanya sekitar Rp 4 miliar.
Hal ini disebabkan naiknya harga pengelolaan sampah yang dulu dilakukan di TPA Piyungan dengan sistem open dumping berkisar Rp 78 ribu per ton lalu melonjak menjadi Rp 450 ribu per ton.
Perlu diketahui, meski ditutup permanen, sebagian area TPA Piyungan sementara kembali difungsikan untuk melakukan pengolahan sampah sembari rampungnya infrastruktur baru pengolahan sampah di kabupaten/kota di Yogyakarta.
Padahal, kata Aman, bengkaknya biaya pengolahan sampah itu tak sebanding dengan pemasukan anggaran dari retribusi sampah Kota Yogyakarta yang hanya Rp 3 miliar per ton. “Target retribusi dengan sistem desentralisasi sampah hanya Rp. 6 miliar, tetapi belanja untuk sampah mencapai Rp 20 miliar,” ujar Aman.
Dengan besarnya ongkos operasional pengolahan sampah itu, Pemerintah Kota Yogyakarta mendorong agar masyarakat dan wisatawan ikut berperan aktif terutama dalam upaya mengurangi produksi sampah. Agar kebutugan anggaran pengelolaan sampah yang mencapai puluhan miliar itu bisa ditekan.
Aman mencontohkan upaya yang bisa dilakukan masyarakat dengan mengolah sampah dari rumah tangga. Selain itu juga dapat memaksimalkan sampah anorganik melalui 678 bank sampah di Kota Yogyakarta, sehingga volume sampah bisa berkurang.
Iklan
Anggota Komisi C DPRD Kota Yogyakarta, Sigit Wicaksono, menuturkan meski sudah dialokasikan anggaran puluhan miliar rupiah, pihaknya masih belum melihat ujung selesainya permasalahan sampah di Kota Yogyakarta itu. “Saat ini depo-depo masih penuh, pembuangan sampah liar masih marak, anggaran yang ada bisa dioptimalkan ke situ,” kata dia.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X pada akhir Juli 2024 telah memanggil seluruh kepala daerah di kabupaten/kota untuk membahas persoalan sampah di wilayah masing masing.
Dalam pertemuan tersebut, Sultan meminta agar Intermediate Treatment Facility (ITF) yang berada di Bawuran Pleret Kabupaten Bantul sebagai pengganti TPA Piyungan dapat segera beroperasi dan berjalan.
Sultan menyebut ITF Bawuran selain mengolah sampah, nantinya disana juga akan dilakukan pengolahan hasil sampah. Untuk itu pihaknya meminta kepada masyarakat untuk tetap mengolah sampahnya.
“Sampah yang diolah oleh masyarakat di tingkat desa dan kelurahan ini juga dapat digunakan sebagai bahan baku pengolahan sampah di ITF Bawuran, sehingga sampah yang masuk memiliki nilai ekonomi bagi warga,” kata dia.
Sampah pilahan yang ada ITF Bawuran tersebut, kata Sultan, setiap satu tonnya dihargai sebesar Rp 450.000. “Jadi tetap ada nilai ekonominya untuk masyarakat,” ungkapnya.
Pilihan editor: Atasi Darurat Sampah, Yogyakarta Terbitkan Regulasi tentang Limbah Plastik