DENPASAR, posviral.com – Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Dr Ardhasena Sopaheluwakan, Senin (29/4) mengatakan perubahan iklim menyebabkan dampak negatif ke berbagai sektor, termasuk kesehatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satunya adalah perkembangan vector pembawa penyakit seperti nyamuk Aedes Aegypti yang menularkan Demam Berdarah Dengue (DBD).
Iklim berperan dalam memberikan lingkungan yang kondusif bagi nyamuk untuk berkembang, terutama di awal masa perkembangan nyamuk. Sebagai upaya dalam mengurangi, mencegah wabah DBD, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengembangkan system peringantan dini penyebaran penyakit DBD berbasis iklim (DBDKlim).
Layanan ini bekerjasama dengan Dinas Kesehatan (Diskes) Provinsi Bali dan stakeholder terkait. Lebih lanjut diterangkan, bahwa sistem DBDKlim ini adalah program peringatan dini yang menyediakan prediksi angka insiden DBD dan kelembaban udara (relative humidity/RH) per wilayah atau provinsi.
Peta kelembaban udara menunjukkan probabilitas kesesuaian RH untuk vector DBD. Semakin tinggi probabilitasnya maka semakin tinggi kemungkinan RH mendukung pertumbuhan nyamuk Aedes Aegypti, yang berakibat pada meningkatnya kemungkinan penduduk terjangkit DBD.
“Melalui penelitian yang kami lakukan, kami mengetahui bahwa demam berdarah ini terkait dengan iklim. Jadi biasanya nyamuk berkembang biak setelah kelembaban cukup tinggi, setelah curah hujan cukup tinggi. Kemudian nyamuk dapat berkembang biak, dan kasusnya (DBD, red) naik. Jadi naik turunnya jumlah nyamuk maupun naik turunnya jumlah kasus demam berdarah itu sangat terkait dengan kondisi iklim,” terang Dr Adhasena saat berkunjung ke Gedung Pers K. Nadha, Jl. Kebo Iwa, Denpasar.
DBDKlim menampilkan peta angka DBD skala bulanan untuk tiga bulan ke depan. Diprediksi dikategorikan dalam tiga warna, yakni warna hijau menandakan wilayah tersebut aman, orange artinya waspada, dan merah menandakan wilayah tersebut awas.
Masing-masing kategori mempunyai aksi tindak lanjut yang perlu diambil Diskes untuk mencegah peningkatan jumlah kasus. Tindak lanjut tersebut dapat berupa penyelidikan epidemiologi, penyuluhan, pemberantasan sarang nyamuk, larvasidasi selektif, larvasida massal, dan fogging focus tergantung masing-masing kategorinya.
Disampaikan juga, bahwa layanan informasi ini sebelumnya telah dijalankan di DKI Jakarta sejak Januari 2019 lalu, dan layanan serupa juga mulai diterapkan di Bali. Informasi ini akan tersedia untuk seluruh Provinsi Bali yang ditampilkan lebih detilnya per kabupaten.
Ia berharap layanan informasi ini akan membantu pemerintah, masyarakat, dan stakeholder terkait untuk melakukan langkah antisipasi akan kenaikan kasus DBD, sehingga tidak terjadi dampak yang parah. (Eka Adhiyasa/posviral)