Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin diwaspadai oleh pemerintah dan pasar. Sebab, nilai kurs rupiah kini sudah menyentuh angka Rp 16.237, atau mendekati rekor terburuk Rp 16.800 pada krisis moneter tahun 1998.
Sejumlah ekonom pun mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah cepat. Karena, jika tidak segera diantisipasi, rupiah bisa menyentuh angka Rp 16.800 per dolar AS pada tahun ini.
Ekonom sekaligus Dosen Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memperingatkan pemerintah, jika tidak segera mengeluarkan kebijakan atau respons yang memadai, maka mata uang Garuda ini bisa makin terpuruk.
“Jika pasar tidak confident dengan posisi pemerintah dalam aspek fiskal, dan Bank Indonesia dalam aspek moneter, maka rupiah akan terus melemah,” ujar Wijayanto dalam acara webinar bertajuk Dampak Kebijakan Ekonomi Politik di tengah Perang Iran-Israel,” di Jakarta, Senin (22/4).
Untuk itu, ia meminta Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia untuk membangun kepercayaan para investor dan publik. Kepercayaan tersebut dapat digapai dengan aksi nyata pemerintah sebelum pelemahan berlanjut.
Pada kesempatan yang sama, Ekonomi INDEF Eko Listiyanto menilai, nilai tukar rupiah bisa tembus Rp 16.800 per dolar AS, jika BI tidak melakukan respons yang memadai dan pemerintah hanya fokus pada kebijakan populis.
Untuk saat ini, pemerintah bisa menjaga rupiah di level Rp 16.500 per dolar AS. Namun jika melewati angka tersebut, maka pelemahan rupiah di angka Rp 16.800 bisa semakin cepat pada tahun ini.
“Kalau kita bisa tahan 1-2 bulan nggak tembus Rp 16.500 per dolar AS, maka ada ruang buat bernafas. Kalau bisa, ditahan di bawah itu,” kata Eko.
Menata Ulang Utang RI
Untuk mengantisipasi pelemehan rupiah, diperlukan strategi yang tepat. Sebab, jika tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat, dapat memberi efek domino terhadap pertumbuhan ekonomi.
Wijayanto mengingat, debt service ratio (DSR) atau perbandingan jumlah utang dengan penghasil hampir menyentuh angka 39% dan ini sudah sangat tinggi. Untuk itu, pemerintah harus mengantipasai kenaikan utang yang berlanjut dan tak terkendali.
“Bagaimana kebijakan pemerintah untuk menata ulang utang, sehingga utang tidak dilakukan untuk aktivitas populis yang tidak berdampak pada produktivitas ekonomi kita,” kata dia.
Selain menata ulang utang, pemerintah juga perlu meningkatkan rasio pajak atau tax ratio. Kemudian dibarengi kebijakan suku bunga BI dengan tetap melakukan komunikasi dengan stakeholder di pasar.