JAKARTA – Sosok Pendeta Gilbert Lumoindong dan Galih Loss menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Keduanya dianggap telah melakukan penistaan agama, khususnya Agama Islam sehingga harus “berhadapan” dengan pihak penegak hukum.
Setiap agama memiliki simbol-simbol keagamaan yang sakral dan haram untuk diusik, yakni Tuhan, Nabi, kitab suci, dan tempat ibadah. Bila salah satu simbol tersebut dihina, dilecehkan atau dinistakan akan menimbulkan reaksi dan kecaman keras dari pemeluk agama tersebut.
Secara garis besar, ada dua jenis penistaan agama yakni verbal dan non verbal. Jenis penistaan agama secara verbal sudah sering ditemui baik di media cetak, elektronik maupun media sosial. Jenis penistaan ini dapat berupa mengolok-olok, menyindir, menuduh, mengejek, menghina, dan candaan yang tidak pantas.
Sementara penistaan agama non verbal adalah penistaaan agama yang dilakukan tidak menggunakan ucapan baik lisan maupun tulisan. Jenis penistaan ini menggunakan tindakan, perilaku, atau pandangan, contohnya membakar kitab suci terang-terangan, memasukan kitab suci ke dalam kloset, dan perbuatan penistaan lainnya, termasuk dilakukan dengan gestur atau bahasa tubuh yang bertujuan mencela atau mencemooh ajaran atau simbol agama tertentu.
Di Indonesia, penistaan agama sebenarnya bukan sesuatu yang baru terjadi belakangan. Sebagian besar kasus justru terjadi melalui berbagai media. Kasus penistaan agama di media pada awalnya terjadi melalui perantara media cetak, yaitu dimulai pada zaman penjajahan Belanda dan Orde Baru. Seiring kemajuan teknologi, media internet mengalahkan media cetak dan media elektronik. Kasus penistaan agama yang awalnya terjadi di media cetak, kemudian bergeser di media internet.
Penistaan Agama Pertama di tahun 1918
Berdasarkan data yang dihimpun tim VOI, di masa Hindia Belanda sudah terjadi penistaan agama di media, khususnya media cetak. Penistaan agama di masa Kolonial Belanda terjadi tahun 1918 di Kota Surakarta, yakni dalam artikel berjudul “Pertjakapan Posviral.com Marto dan Djojo” di surat kabar Djawi Hiswara edisi 11 Januari 1918 Nomor 5 pimpinan Martodarsono.
Artikel yang ditulis oleh Djojodikoro ini dianggap mengandung penistaan agama yaitu “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium.” Karena dinilai menghina agama Islam, menimbulkan reaksi keras dari umat Islam termasuk pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto kemudian menggelar pertemuan besar untuk membahas penistaan agama ini, dan berakhir dengan pendirian Komite Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya di bulan Februari 1918. Pengaruh Tjokroaminoto sebagai pemimpin TKNM meluas sampai seluruh Jawa dan Sumatera dengan didirikan sub komite TNKM di wilayah Jawa dan Sumatera. Puncaknya terjadi pada 24 Februari 1918 terjadi aksi serentak di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera dengan jumlah peserta aksi sekitar 150.000 orang.
Kasus penistaan agama lain yang menuai reaksi banyak orang terjadi di era Orde Baru, tepatnya tahun 1990. Pada saat itu penyebaran informasi sudah meningkat tidak hanya melalui media cetak melainkan media elektronik seperti televisi dan radio. Kasus ini menimpa Arswendo Atmowiloto sebagai pemimpin redaksi Tabloid Monitor karena tabloid tersebut dianggap menghina Nabi Muhammad.
Tabloid Monitor edisi 15 Oktober 1990 memuat hasil polling yang berjudul “50 Tokoh yang dikagumi Pembaca”. Polling diikuti oleh pembaca Tabloid Monitor dengan cara mengirimkan kartu pos dengan jumlah 33.963 lembar kartu pos. Perolehan polling terbanyak pertama yaitu Soeharto dengan 5.003 suara. Urutan kedua sampai kesepuluh yaitu B.J. Habibie, Ir. Soekarno, Iwan Fals, Zainudin MZ, Try Sutrisno, Saddam Husein, Siti Hardiyanti Rukmana, dan Arswendo Atmowiloto.
Sumber kasus penistaan agama ini terletak pada urutan polling nomor sebelas yaitu Nabi Muhammad. Hasil polling tersebut mendapat reaksi keras dari umat Islam. Kecaman pun datang dari tokoh-tokoh Islam seperti Nurcholis Majid, K.H. Hasan Basri, Zainudin MZ, hingga Amien Rais. Tak cukup tokoh Islam, gabungan masyarakat/organisasi masyarakat, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pemuda Muhammadiyah, dan ormas berbasis Islam lainnya turut mengeluarkan kecaman mereka. Informasi kasus penistaan agama ini makin meluas usai media massa juga ikut mengecam Arswendo.
Dua hari usai polling diumumkan di Tabloid Monitor, massa dari kalangan umat Islam melakukan aksi protes menuntut Arswendo diadili. Reaksi tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Di Jakarta massa bahkan mengepung kantor redaksi Tabloid Monitor, membakar patung Arswendo yang terbuat dari kertas koran dan menerobos masuk kantor redaksi pada tanggal 22 Oktober 1990.
Penistaan Agama Era Digital
Beranjak ke era media sosial, kasus penistaan agama yang mungkin paling menyita perhatian publik terjadi di tahun 2016. Kasus ini menimpa Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. 27 September 2016, Ahok mengeluarkan pernyataan yang dianggap menghina Islam. Rekaman video tersebut awalnya tersebar melalui Facebook kemudian menyebar juga di Youtube dan media sosial lainnya.
Rekaman video tersebut merupakan potongan video dari pidato kunjungan kerja Ahok ke Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Ahok mengatakan dirinya tidak memaksa warga untuk memilihnya di Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan mengutip surat Al Maidah ayat 51 yang menimbulkan reaksi dan kecaman keras dari umat Islam.
Reaksi keras dari umat Islam dilandasi oleh keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa pidato Ahok di Kepulauan Seribu mengandung unsur penistaan agama. Keputusan tersebut kemudian disebut fatwa oleh umat Islam dan mendirikan perkumpulan dengan nama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI).
GNPF MUI yang dipimpin oleh KH. Bachtiar Nasir, mirip TKNM yang dipimpin Tjokroaminoto. Gerakan tersebut sama-sama gerakan sosial masyarakat yang bertujuan melindungi kemurnian ajaran agama. Kedua gerakan ini sama-sama mengumpulkan banyak massa di berbagai daerah di Indonesia.
Perbedaannya terletak pada perang opini, dimana TKNM beropini melalui surat kabar untuk menyerang Djawi Hiswara, pendukung GNPF MUI menyerang melalui opini di sosial media. Meski ada juga yang menulis di media cetak tapi perang opini di media sosial lebih menarik pada saat itu.
Lantas, apa penyebab kasus penistaan agama masih terus terjadi di Indonesia? Pakar hukum, Taufiq Nugroho menilai, ada tiga faktor yang membuat kasus ini masih kerap terjadi di Indonesia. Pertama, karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai hukum.
“Kalau dari kacamata hukum, maka yang pertama adalah terkait dengan sosialisasi atau pemahaman masyarakat terkait hukum itu. Bisa jadi masyarakat memang tidak tahu kalau itu melanggar hukum dan ada sanksi pidananya, kalau mereka tahu pasti akan berpikir ulang, jadi kasus ini bisa jadi karena ada kurangnya pemahaman di masyarakat,” ujarnya.
Kedua, kurangnya pendidikan atau pemahaman tentang agama. “Dari sisi pribadi, barangkali karena kurangnya pemahaman agama dan pendidikan agama,” imbuhnya.
Penyebab ketiga adalah jerat hukum pada pelaku penistaan agama yang dianggap tidak memberikan efek jera. “Bisa jadi pada orang yang sudah paham kalau itu melanggar hukum dan ada sanksinya tapi tetap melakukan, karena sanksi tidak memberi efek jera. Sehingga ketika orang tahu, kasus sebelum-sebelumnya dimaafkan, atau ada ancaman lima tahun hanya diputus beberapa bulan. Nah itu tidak memberikan efek jera, orang jadi mengulangi,” ungkap Taufiq.
Hormati Perbedaan dan Kemajemukan
Mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin merasa prihatin karena kasus penistaan agama terus berulang di Indonesia yang terkenal dengan negara Pancasila, berketuhanan Yang Maha Esa, saling menghormati, dan toleran.
Menurut dia, salah satu cara mencegah terulangnya kasus penistaan agama adalah dengan melakukan moderasi beragama untuk membangun cara pandang, sikap, dan praktek beragama dalam kehidupan bersama.
“Moderasi beragama diperlukan karena realitas keindonesiaan yang majemuk menghadapi banyak tantangan serius sehingga dibutuhkan strategi memperkuat tatanan kehidupan harmonis umat beragama di tengah keragaman,” terangnya.
Dia menyatakan, dalam moderasi beragama, pengejawantahan nilai-nilai esensial agama terutama dilakukan dalam konteks perlindungan nilai-nilai kemanusiaan, baik melalui orientasi memanusiakan manusia maupun membangun kemaslahatan bersama.
Berdasarkan latar historis pendirian Indonesia, kemerdekaan maupun pedoman hidup bernegara lahir dari cara pandang moderasi para tokoh pendiri bangsa. Relasi negara dan agama yang dibangun terjadi dalam proses simbiosis mutualisme dimana agama dan negara saling menopang satu sama lain sebagai sumber nilai sekaligus fasilitasi implementasinya.
“Relasi baik keduanya tidak memungkinkan hadirnya mayoritanisme satu kelompok agama sehingga terhindari dari kerentanan hadirnya kesewenangan satu umat agama terhadap yang lain,” imbuhnya.
Lukman menjelaskan, Indonesia harus memperhatikan tiga hal jika benar-benar ingin memajukan moderasi beragama dalam konteks kemajemukan, yaitu terkait masyarakat, tokoh agama, dan negara. Pertama, masyarakat harus belajar mengenal bahwa setiap agama memiliki perbedaan, masyarakat harus memiliki kemampuan untuk meyakini agamanya sendiri tanpa meremehkan atau dengan menghormati keyakinan agama lain.
Kedua, para tokoh agama di Indonesia belajar berhenti berbicara buruk tentang agama lain. Para tokoh agama juga agar dapat semakin meyakini kebenaran agamanya sendiri dengan tidak merendahkan agama lain.
Ketiga, negara juga memiliki peranan penting dalam memajukan kemajemukan Indonesia. Negara harus menjamin ruang dan kondisi dasar agar umat beragama bisa hidup berdampingan tanpa saling menggangu dalam suasana sejahtera, damai, dan adil.
“Jangan lupakan juga pandangan Gus Dur, bahwa setiap agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstrimisme memutarbalikkannya. Saling menghormati dan menghargai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hormatilah perbedaan dan kemajemukan yang ada di Indonesia,” tutup Lukman Hakim.
Senada dengan Lukman Hakim Saifuddin, Ketua Umum PGI, Gumar Gultom juga menilai bahwa moderasi beragama tidak semata-mata terkait pemahaman konsep, tetapi harus menjadi sikap hidup masyarakat. Moderasi beragama untuk mencegah terjadinya dogma agama maupun kepentingan politik yang menginstrumentalisasi agama sehingga berpotensi memecah belah masyarakat sebagai bangsa.
“Tidak mudah mengelola keberagaman dan keberagamaan. Moderasi beragama ini bisa memberi solusi. Bagi kami di kalangan Kristen, sayap kanan dan kiri yang sangat ekstrem juga ada. Moderasi beragama ini sangat membantu kami dalam membuka ruang dialog secara prosedur dan tahapannya jelas,” ujarnya.
Dia menjelaskan, di tengah tren global moderasi beragama, konsep dan gagasan moderasi beragama di Indonesia bisa menjadi sebuah kontribusi nasional untuk tantangan global. Sebab, moderasi beragama di Indonesia memiliki memori dan narasi kolektif tentang peran luhur agama terkait empat indikator di dalam roadmap moderasi beragama, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghargaan kepada tradisi.
Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah agar para pemuka agama yang kredibel harus merebut ruang literasi agama di dunia digital yang semakin hingar bingar dengan perdebatan antaragama yang saling menyakitkan sesama anak bangsa.
“Sekarang ini, seketika orang bisa menjadi ahli dan merasa memiliki otoritas tunggal ketika memasuki dunia digital. Sayangnya, banyak orang kehilangan hikmat untuk berdialog dengan santun dan bermartabat. Orang kehilangan kebijaksanaan untuk mendengar dan bertanya. Kondisi ini mencederai ruang bersama yang kita bangun yang kita rawat dengan susah payah,” kata Gumar Gultom.